LEBAK, Suararadarcakrabuana.com — Aktivitas tambang emas ilegal di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) terungkap melalui citra satelit Google Maps, dan diketahui telah berlangsung lebih dari tiga dekade sejak tahun 1990-an.
Namun, hingga kini, upaya penertiban terhadap para penambang liar atau gurandil masih menemui banyak kendala.
Kepala Balai TNGHS, Budhi Chandra, mengatakan aktivitas tambang emas tanpa izin (PETI) di kawasan konservasi tersebut mulai marak sejak awal 1990-an, setelah perusahaan tambang emas, PT ANTAM, berhenti beroperasi di Cikotok, Kabupaten Lebak.
“Benar, aktivitas penambangan ilegal di kawasan ini sudah ada sejak awal 1990-an dan terus meningkat setelah tambang Antam berhenti beroperasi,” ujar Budhi kepada Kompas.com melalui pesan WhatsApp, Sabtu (25/10/2025).
Menurut Budhi, kawasan yang menjadi sasaran penambangan berada di jalur emas Cikotok–Cirotan–Gang Panjang–Cibuluh yang terhubung hingga Pongkor, Kabupaten Bogor.
Baca juga: Hidup Mewah, Dermawan, Dekat Elite Politik, Kini Bos Pasir Galunggung Endang Juta Jadi Tersangka
Saat ini terdapat 36 titik lokasi PETI yang tersebar di wilayah Lebak dan Bogor, dengan jumlah tenda kemah mencapai sekitar 250 unit.
“Titik-titik utama berada di Cibuluh, Cibarengkok, dan Ciberang. Inventarisasi lebih perinci terhadap jumlah lubang galian dan peralatan sedang kami lakukan,” kata Budhi.
Sebagian besar penambang liar di TNGHS merupakan warga yang tinggal di sekitar kawasan taman nasional. Mereka berasal dari kampung Gunung Julang, Lebak Situ, Lebak Gedong, dan Citorek di Kabupaten Lebak.
Sebagian lainnya datang dari daerah seperti Sukajaya di Bogor, Tasikmalaya, dan Jampang di Sukabumi.
Budhi menjelaskan, pihaknya sudah berulang kali melakukan upaya penanganan, mulai dari sosialisasi, patroli rutin, hingga operasi gabungan bersama TNI, Polri, dan pemerintah daerah.
Operasi besar terakhir dilakukan pada 1998 dan 2017, termasuk di kawasan Ciguha, namun hasilnya belum maksimal.
“Lokasi PETI berada jauh di dalam kawasan, harus ditempuh dengan jalan kaki sekitar lima jam. Jumlah penambang sangat besar, sementara personel kami terbatas,” kata Budhi.
Kondisi medan yang berat ini, lanjut dia, juga membuat pengawasan sulit dilakukan secara rutin.
Banyak lokasi tambang berada di lembah-lembah curam yang tertutup vegetasi lebat, sehingga sulit dijangkau kendaraan atau peralatan berat.
Menurut Budhi, aktivitas tambang liar yang tak terkendali itu kini menimbulkan kerusakan serius di kawasan TNGHS.
Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida untuk memproses hasil tambang menyebabkan pencemaran air sungai yang mengalir ke permukiman warga di hilir.
Diketahui sungai besar di Banten dan Jawa Barat seperti Ciberang dan Cidurian hulunya berasal dari TNGHS.
Selain itu, pembukaan lahan untuk mendirikan tenda dan penebangan pohon untuk menahan lubang tambang membuat vegetasi hutan rusak dan meningkatkan risiko tanah longsor di lereng curam.
“Bukan hanya air yang tercemar, tapi juga banyak satwa liar yang terusik. Habitat mereka terganggu dan fungsi ekosistem hutan mulai menurun,” ujar Budhi.
Sebelumnya diberitakan, keberadaan deretan ratusan tenda biru di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) viral di media sosial setelah foto-fotonya muncul dari citra satelit Google Maps.
Kepala Balai TNGHS, Budhi Chandra, membenarkan bahwa tenda-tenda tersebut merupakan milik para penambang emas ilegal atau gurandil yang beroperasi di dalam kawasan taman nasional itu.
Wilayah TNGHS mencakup tiga kabupaten di dua provinsi, yakni Kabupaten Lebak di Banten, serta Kabupaten Sukabumi dan Bogor di Jawa Barat.
RED/TIM




